Rabu, 28 Oktober 2015

MEMAKNAI RUKUN-RUKUN IMAN

A.      IMAN KEPADA ALLAH
Iman terbagi 2, yaitu:
1.       iman mujmal adalah iman secara garis besar .
Rukunnya ada 2, yaitu :                                          
a.       iman kepada Allah (  اَمَنْتُ بِاللهِ وَمَا قَالَ اللهُ ) artinya “ aku percaya dengan Allah dan dengan   barang sesuatu yang difirmankan Allah”.
b.     Iman kepada وْrasulullah ( اَمَنْتُ بِالرَّسُوْلِ وَبِماَ قَالَ الرَّسُلِ ) artinya “ aku percaya dengan rasulullah dan dengan barang sesuatu yang disabdakan rasulullah”.  
2.       iman tafsil adalah iman secara terperinci. Rukunnya ada 6 sebagaimana yang telah disebutkan diatas pada pelajaran kedua.
 Dibawah ini kita akan mengetahui beberapa pelajaran yang menyebutkan kaifiyat keimanan kepada Allah dengan cara-cara yang telah diuraikan oleh para ulama, kiranya dengan kita mempelajari dan mengamalkan I’tiqad tersebut , kita menjadi golongan ahlus- sunnah wal jamaah yang dijamin masuk syurga oleh Allah sebagaimana yang telah dikabarkan oleh rasul.
1.1. Mempelajari I’tiqad 50
Dalam pembahasan ini,  penulis mengajak santri dan murid untuk dapat memahami dan mempelajari   20 sifat yang wajib bagi Allah, 20 sifat yang mustahil bagi Allah, 1 sifat yang harus (jaiz) bagi Allah, dan 9 yang wajib diyakini bagi tiap-tiap mukallaf (aqil baligh),  yang jumlah semuanya adalah 50 I’tiqad.
Berikut  ini adalah penjelasan butir- butir yang telah disebutkan diatas. Penulis dalam bahasan ini tidak lagi menyebutkan secara rinci 20 sifat yang wajib bagi Allah dan lain- lainnya, dikarenakan pada bahasan nantinya akan penulis sebutkan secara rinci adanya.
Sifat 20 terbagi 4, yaitu:
1.Sifat nafsiah: yaitu tiap-tiap hal yang wajib bagi zat selama kekal zat, tiada dikarenakan suatu apapun. sifat nafsiah ini maujud pada dzihin (hati, jiwa atau benak) dan tidak maujud pada kharij (kenyataan).  Arti dzihin adalah keyakinan pada hati, sedangkan arti kharij yaitu: andaikata dibuka hijab, niscaya kita dapat melihat sifat itu berdiri pada zat.
 Sifat nafsiah ada 1, yaitu:
-           Wujud, maknanya ada wujud Allah selama-lamanya.
2.Sifat salbiah: yaitu tiap-tiap sifat yang menunjukkan atas menafikan  barang yang tidak patut dengan Allah jalla wa a’zza. Sifat salbiah ini tidak maujud pada dzihin (hati) dan tidak maujud pada kharij (kenyataan).
Sifat salbiah ada 5,yaitu:
-          Qidam (sedia), maknanya sedia Allah ta’ala, tiada didahului oleh a’dam (ketiadaan).
-          Baqa’ (kekal), maknanya kekal Allah tiada bersambung oleh a’dam(ketiadaan).
-          Mukhalafatuhu lilhawadis, maknanya tiada sama Allah ta’ala dengan makhluk, tiada sama pada zat, sifat dan perbuatan
-          Qiyamuhu binafsih, maknanya tiada berhajat Allah ta’ala kepada orang yang menjadikan diri-Nya dan tiada berhajat kepada tempat berdirinya zat.
-          Wahdaniah, maknanya Esa Zat Allah, Sifatnya, dan Perbuatannya. Zat Allah tidak terbagi-bagi dalam beberapa juzu’ dari pada anggota badan , tidak bersusun dari pada urat, darah dan daging, dan tidak bercerai kepada zat yang lain. Esa pada sifat, tiap satu sifat, tiada sifat yang lain.  Esa pada perbuatan, tiada suatu perbuatan yang serupa dengan perbuatan Allah.
3.Sifat ma’ani: yaitu tiap-tiap sifat maujud (yang ada) yang berdiri pada zat yang maujud yang mewajibkan zat bersifat suatu hukum. Sifat ma’ani ini maujud pada dzihin (hati) dan maujud pada kharij (andaikata dibuka hijab, niscaya kita dapat melihat sifat itu berdiri pada zat)
Sifatnya ada 7, yaitu:
-          Qudrah (kuasa)
-          Iradah (berkehendak)
-          Ilmu (mengetahui)
-          Hayah (hidup)
-          Sama ’(mendengar)
-          Basar (melihat)
-          Kalam (berkata-kata)
4.Sifat maknawiyah: yaitu tiap-tiap hal yang wajib bagi zat selama kekal zat, hal keadaannya yang maujud pada dzihin (hati) dan tiada maujud pada kharij (kenyataan).
Sifat maknawiyah ada 7, yaitu:
-          Qadirun (yang kuasa)
-          Muridun (yang berkehendak)
-          A’limun (yang mengetahui)
-          Hayyun (yang hidup)
-          Sami’un(yang mendengar)
-          Bashirun(yang melihat)
-          Mutakallimun(yang berkata-kata)
Adapun 6 sifat yang ada ta’luknya, yaitu:
-          Qudrah, yakni memberi bekasan bagi segala yang mungkin (baharu), mungkin maujud, mungkin ma’dum, dan mungkin qabdhu (genggaman)
-          Iradah, yakni memberi bekasan bagi segala yang mungkin (baharu), mungkin maujud, mungkin ma’dum, dan mungkin qabdhu(genggaman)
-          Sama’, yakni ta’luk kenyataan pada segala yang maujud, baik maujud qadim, maupun maujud hadis.
-          Basar, yakni ta’luk kenyataan pada segala yang maujud, baik maujud qadim, maupun maujud hadis.
-          Ilmun, yakni ta’luk kenyataan pada segala yang wajib, mustahil dan yang jaiz.
-          Kalam, yakni ta’luk dilalah (membuktikan) pada segala yang wajib, mustahil dan jaiz.
Arti ta’luk adalah tuntutan dari pada sifat akan suatu pekerjaan  yang  melebihi  dari pada tempat berdirinya zat.
20 sifat yang mustahil merupakan lawan dari pada yang wajib, dalam masalah ini tidak lagi disebutkan bahasannya.
 1 sifat yang jaiz adalah memperbuat oleh Allah akan segala yang mumkin (baharu) atau meninggalkannya .
 9 I’tiqad yang wajib atas tiap-tiap mukallaf untuk mengetahuinya, yaitu:
1.       Wajib I’tiqad mustahil Allah ta’ala kewajiban atasnya membuat segala yang mungkin atau meninggalkannya yaitu lawannya yang harus.
2.       Wajib I’tiqad mahasuci Allah ta’ala dari pada mengambil faedah dalam segala perbuatannya atau didalam hukumnya.
3.       Wajib I’tiqad mustahil Allah ta’ala mengambil faedah tersebut (lawan nomor 2)
4.       Wajib I’tiqad tiada memberi bekas segala mumkin (baharu) dengan kuatnya.
5.       Wajib I’tiqad mustahil memberi bekas segala yang baharu  dengan kuatnya.
6.       Wajib I’tiqad baharu sekalian alam
7.       Wajib I’tiqad qidam sekalian alam
8.       Wajib I’tiqad tiada memberi bekas dari pada yang mumkin (baharu) dengaan tabiatnya.
9.       Wajib I’tiqad mustahil pada sekalian mumkin (baharu) memberi bekas dengan tabiatnya.

Jumlah 50 aqaid yang telah disebutkan terbagi dalam 2 bagi, yaitu:
1.       28 aqaid termasuk dalam istigna (terkaya Allah dari pada selainnya)
-          Wujud beserta lawannya yang mustahil
-          Qidam beserta lawannya yang mustahil
-          Baqa’ beserta lawannya yang mustahil
-          Mukhalafatuhulil hawadis beserta lawannya yang mustahil
-          Qiyamuhu binafsih beserta lawannya yang mustahil
-          Sama’ beserta lawannya yang mustahil
-          Basar beserta lawannya yang mustahil
-          Kalam beserta lawannya yang mustahil
-          Sami’un beserta lawannya yang mustahil
-          Basirun beserta lawannya yang mustahil
-          Mutakallimun beserta lawannya yang mustahil
-          Maha suci Allah ta’ala mengambil faedah dalam segala perbuatannya atau didalam hukumnya beserta lawannya yang mustahil
-          Tiada wajib atas Allah memperbuat segala yang mumkin atau meninggalkannya beserta lawannya yang mustahil, yaitu harus (jaiz)
-          Tiada memberi bekas  segala yang mumkin (baharu) dengan kuatnya beserta lawannya yang mustahil.

2.       22 aqaid termasuk dalam iftiqar (berhajat tiap-tiap barang selainnya kepada Allah).
-          Wahdaniah beserta lawannya yang mustahil
-          Qudrah beserta lawannya yang mustahil
-          Iradah beserta lawannya yang mustahil
-          Ilmu beserta lawannya yang mustahil
-          Hayah beserta lawannya yang mustahil
-          Qadirun beserta lawannya yang mustahil
-          Muridun beserta lawannya yang mustahil
-          A’limun beserta lawannya yang mustahil
-          Hayyun beserta lawannya yang mustahil
-          Baharu sekalian alam beserta lawannya yang mustahil
-          Tiada memberi bekas dari pada yang mumkin (baharu) dengan tabiatnya beserta lawannya yang mustahil.
1.2. Mempelajari I’tiqad 70
                20 sifat yang wajib bagi Allah, 20 sifat mustahil bagi Allah ,1 sifat yang jaiz (yang harus)  pada Allah, 4 sifat yang wajib pada rasul, 4 sifat yang mustahil pada rasul, 4 sifat hal keadaan nabi dan rasul, 4 hal keadaan yang mustahil pada segala nabi dan rasul, dan 12 sifat perbuatan Allah, maka jumlahnya adalah 70  I’tiqad.
                Dibawah ini hanya disebutkan beberapa sifat nabi dan lain-lain menyangkut pokok  I’tiqad 70. Untuk bahasan selanjutnya tidak lagi penulis cantumkan, karena sudah ada dipermulaan, terutama menyangkut sifat wajib pada Allah, sifat mustahil dan sifat yang jaiz dikarenakan untuk mempersingkat catatan.
4 Sifat yang wajib pada rasul shalawatullahi alaihim wasalamuhu, yaitu:
-          Sidiq, maknanya benar segala perkataan rasul, perbuatan, dan diam rasul seperti yang dimaksudkan oleh Allah swt.
-          Amanah, maknanya tiada memperbuat oleh rasul perbuatan yang haram, makruh, dan tiada memperbuat perbuatan yang mubah, melainkan ketaatan pada Allah.
-          Tabligh, maknanya menyampaikan oleh rasul segala perintah Allah kepada segala kaum
-          Fathanah, maknanya kuasa segala rasul melahirkan hujjah kepada segala kaum ketika didakwa kaumnya (cerdik).
4 sifat yang mustahil tidak lagi disebutkan dalam bahasan ini dikarenakan telah memahami sifat yang wajib pada rasul dipermulaan.
1 sifat yang harus (jaiz) pada segala rasul, yaitu berperangai tubuh manusia seumpama makan, minum dan tidur,  yang tiada mengurangi martabat rasul yang mulia, seperti sakit gila atau sakit besar.
4 sifat hal keadaan para nabi dan rasul yaitu:
-          Basyarun ( بَشَرٌ ), artinya nabi adalah manusia.
-          Rajulun ( رَجُلٌ ), artinya nabi adalah laki-laki.
-          Afdhalul insan (أَفْضَلُ اْلإنْسَا نِ ), artinya nabi adalah manusia yang terlebih.
-          Ibnu halal (إِبْنُ حَلاَ لِ ), artinya nabi itu dari keturunan yang suci.
4 sifat hal yang mustahil pada nabi dan rasul, yaitu:
-          Mustahil nabi dikatakan jin atau malaikat
-          Mustahil nabi dikatakan perempuan
-          Mustahil nabi itu manusia yang kekurangan
-          Mustahil nabi dikatakan anak haram
12 sifat fi’il (perbuatan) pada Allah, yaitu:
-          Mubdiun ( مُبْدِئٌ ), maknanya Allah memperbuat segala nyawa
-          Khaliqun ( خَالِقٌ ), maknanya Allah yang memperbuat segala tubuh
-          Ra-zikun ( رَازِقٌ ), maknanya Allah yang memberi rizki
-          Muhyi ( مُحْيِ ), maknanya Allah yang memberi hidup
-          Mumi-it (مُمِيْتُ ), maknanya Allah yang memberi mati
-          Mu-i’d  ( مُعِيْدٌ ), maknanya Allah yang akan mengembalikan nyawa hamba
-          Baa-’is (  بَاعِثٌ ), maknanya Allah yang membangkitkan didalam kubur
-          Ha-syir (  حَاشِرٌ ) , maknanya Allah yang menghimpun dipadang mahsyar
-          Muhsibun ( مُحْسِبٌ ), maknanya Allah yang menghitung amal hamba
-          Mujazin ( مُجَازٍ ), maknanya Allah yang balas amal hamba
-          Mudhillun ( مُضِلٌّ ), maknanya Allah yang memberi  jalan sesat, seperti kafir, munafiq, dan zindiq
-          Ha-adin (هَادٍ  ), maknanya Allah yang memberi jalan petunjuk yang benar

Keterangan:
·         Munafik adalah orang yang pura-pura dalam agamanya, islam pada lahir, dan kafir pada batin
·         Zindik adalah orang atheis, dan tidak bertuhan.
Dibawah ini ada beberapa tambahan makna tauhid menyangkut aqaidul iman setelah kita memahami i’tiqad 50 dan 70, i’tiqad berikut  ini  dipahami didalam kalimah syahadah yang pertama, yaitu la ila ha illallah:
Adapun la ila ha illallah, terdiri dari pada beberapa kalimah.  Dalam kajiannya kalimah ini terdiri dari pada huruf lam yang faedahnya adalah nafi (meniadakan) , dan yang ditiadakan itu dinamakan dengan manfi (meniadakan segala sesuatu yang lain yang mempunyai sifat ketuhanan), kemudian diiisbatkan (ditetatpkan keadaan zat yang mempunyai sifat ketuhanan), yaitu Allah swt jua, tiada bandingannya yang lain, sehingga nyatalah yang musabbat (yang ditetapkan) itu Cuma untuk Allah, Dialah tuhan sebenar-benarnya lagi mempunyai sifat kesempurnaan dan tidak bagi Allah suatu sifat kekurangan.  Selanjutnya, inilah makna lain dari syahadah tauhid yang telah dijelaskan oleh ulama ahli sunnah waljamaah, sebagai mana berikut ini:
1.       Tidak ada  Tuhan yang disembah dengan sebenarnya , melainkan hanya Allah yang disembah dengan sebenar-benarnya.
2.       Tidak ada yang terkaya dari pada selain Allah, dan berhajat kepada Allah oleh sekalian yang baharu. Tidak ada tuhan yang disembah dengan sebenarnya, melainkan lazim bagi bagi tuhan yang disembah dengan sebenarnya itu terkaya dari pada baharu, lagi berhajatlah kepada Allah oleh tiap-tiap yang baharu
3.       Tidak ada yang wajib wujudnya, kecuali Allah saja yang wajib wujudnya
4.       Tidak berhak membuat ibadah kepada (selain Allah) dengan sebenarnya-benarnya, melainkan hanya Allah saja yang berhak diibadati dengan sebenarnya.
5.       Tidak ada yang menjadikan sekalian makhluk, melainkan Allah yang menjadikan tiap-tiap se suatu.
6.       Tidak ada yang memberi rizki, melainkan Allah yang memberi rizki bagi tiap-tiap makhluk
7.       Tidak ada yang menghidupi, melainkan Allah yang menghidupi tiap-tiap sesuatu
8.       Tidak ada yang mematikan, melainkan Allah yang menentukan matinya tiap-tiap sesuatu.
9.       Tidak ada yang menggerakkan, melainkan Allah yang menggerakkan tiap-tiap sesuatu
10.   Tidak ada yang mendiamkan, melainkan Allah yang mendiamkan tiap-tiap sesuatu
11.   Tidak ada yang dapat memberi mamfaat kecuali Allah yang dapat memberi mamfaat bagi tiap-tiap sesuatu
12.   Tidak ada yang dapat memudharatkan, melainkan Allah yang sebenarnya yang dapat membuat mudharat tiap-tiap sesuatu
13.   Tidak ada yang melakukan didalam segala keadaan, melainkan Allah yang melakukan semua keadaan.


B.      IMAN KEPADA MALAIKAT
Malaikat  adalah tubuh nuraniyah (diciptakan dari pada cahaya yang lembut)  yang diberi kuasa oleh Allah menyerupai akan rupa yang berbeda-beda yang bukan laki-laki dan bukan pula perempuan, tidak makan dan tidak pula minum.
                Makna beriman kepada malaikat adalah suatu keyakinan yang jazam (tidak ragu-ragu) dengan bahwa sekalian malaikat itu benar adanya, mereka adalah hamba-hamba yang dimulyakan, lagi tidak bermaksiat kepada Allah terhadap perkara yang telah diperintahkan serta memperbuat oleh sekalian  mereka akan tugas-tugas yang telah diperintahkan. Jumlah malaikat sangat banyak tapi tidak diketahui jumlah besarnya, melainkan oleh Allah, akan tetapi yang wajib kita ketahui ada 10 malaikat, diantaranya yaitu:
1.       Jibril, tugasnya menurunkan wahyu
2.       Mika-il, tugasnya menurunkan hujan
3.       Israfil, tugasnya meniupkan terompet pada hari kiamat
4.       I’zrail, tugasnya mencabut nyawa manusia
5.       Munkar, tugasnya menanyakan dalam kubur
6.       Nakir, tugasnya menanyakan dalam kubur
7.       Raqib, tugasnya mencatat amal yang baik
8.       Atib, tugasnya mencatat amal yang buruk
9.       Ridwan, tugasnya menjaga syurga
10.   Malik, tugasnya menjaga nuraka
C.      IMAN KEPADA KITAB
                Kitab adalah pedoman hidup yang diberikan Allah (didalam kitab-kitab) yang diturunkan kepada rasul-Nya .
 Makna iman kepada kitab adalah keyakinan yang jazam (tidak ragu-ragu) dengan bahwasanya segala kitab Allah diturunkan kepada segala rasulnya untuk menyatakan dalam kitabnya akan segala perintah Allah dan larangan Allah, janji Allah dan balasannya.
Kitab-kitab yang turunkan sangat banyak, diantaranya yang wajib diimani, yaitu:
1.       Taurat adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Musa untuk menyatakan hukum syariat dan aqidah yang benar dan memberi  kabar gembira dengan lahirnya nabi dari pada keturunan Isma’il, yaitu nabi kita Muhammad saw. Taurat yang ada sekarang telah dirobah, karena kitab taurat sekarang ini tidak lagi disebutkan mengenai masalah syurga , neraka, hari  berbangkit, padang mahsyar dan hari pembalasan
2.       Injil adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi I’sa untuk berdakwah kepada kaumnya dalam mengesakan Allah, dan menasahkan (membatalkan) sebagian hukum- hukum taurat yang sebagian, dan memberi kabar gembira dengan lahirnya penutup segala nabi, yaitu nabi kita Muhammad saw. Injil yang ada sekarang ada 4 naskah tiap-tiapnya telah dirobah serta digantikan, karena injil sekarang disusun sesudah diangkatnya nabi I’sa dalam kurun waktu 200 tahun setelah nabi I’sa.
3.       Zabur adalah kitab Allah yang diturunkan kepada nabi Daud. Dalam kitab ini tidak memuat tentang hukum syariat karena bahwasanya nabi Daud diperintahkan untuk mengikuti syariat nabi Musa, akan tetapi didalam zabur disebutkan pelajaran, janji-janji dan hikmah.
4.       Qur’an adalah kitab Allah yang paling mulia yang diturunkan kepada nabi termulia, yaitu nabi kita Muhammad saw yang merupakan penutup segala kitab Allah dan membatalkan kitab-kitab sebelumnya. Hukum yang terdapat dalam alqur’an tetap berlaku hingga hari kiamat dan tidak akan mengalami perubahan serta takkan bisa digantikan.

D.      IMAN KEPADA RASUL
                Makna iman  kepada rasul adalah suatu keyakinan yang jazam (tidak ragu-ragu), dengan bahwasanya Allah mengutus rasul-rasul sebagai rahmat dan karunia untuk menggembirakan orang-orang yang beriman dengan pahala syurga dan memberi kabar duka bagi orang-orang kafir dan maksiat dengan siksaan serta menyatakan bagi manusia akan barang yang mereka  bantahkan kepada rasul dalam pekerjaan dunia maupun agama, padahal mereka (para rasul) terpelihara dari pada dosa, dan tiap-tiap mereka  mendatangkan kekuasaan Allah dengan mukjizat. Jumlah rasul sangat banyak, tidak diketahui jumlah mereka, melainkan Allah swt, diantara mereka yang wajib kita ketahui ada 25 nabi dan rasul, yaitu:
1.       Adam as                       11. Yusuf as                        21. Yunus as
2.       Idris as                          12. Ayyub as                       22. Zakaria as
3.       Nuh as                          13. Syuib as                         23. Yahya as
4.       Hud as                          14. Musa as                        24. I’sa as
5.       Shalih as                       15. Harun as                       25. Muhammad saw
6.       Ibrahim as                   16. Zulkifli as
7.       Luth as                          17. Daud as
8.       Ismail as                       18. Sulaiman as
9.       Ishak as                        19. Ilyas as
10.   Ya’kub as                     20. Ilyasa’ as

Mukjizat adalah perkara yang menyalahi adat untuk menyatakan kebenaran rasul, seperti tongkat nabi Musa menjadi ular besar dan keluar unta didalam batu besar terjadi pada mukjizat nabi Shalih, dan turunnya hidangan dari langit beserta bermacam-macam makanan didalamnya dan dapat menyembuhkan penyakit yang berat-berat dan menghidupkan orang mati dengan izin Allah yang terjadi pada mukjizat nabi I’sa as, dan juga seperti terbelahnya bulan turun kehadapan nabi Muhammad saw beserta mengucap syahadah atas membenarkan nabi Muhammad saw, keluar air pada selah-selah anak jari nabi kita Muhammad saw didalam waktu yang sangat panas pada hari hudaibiyah sehingga dapat digunakan oleh 1500 orang untuk keperluan berwudhuk dan minum dan banyak lagi mukjizat nabi kita yang tidak kita sebutkan.

E.       IMAN KEPADA HARI KIAMAT
Hari kiamat adalah suatu hari yang berubah didalamnya alam dan nyata padanya perkara yang besar dan sangat menakutkan, maka dibangkitkan pada hari itu akan manusia dari kuburnya untuk hari pembalasan.
Makna iman pada hari kiamat merupakan pokok keimanan yang jazam (tidak ragu-ragu) dan akan terjadi. Pada hari itu Allah menghimpunkan kita dalam suatu timbangan pada hari yang akan diketahui.
Perkara-perkara yang nyata pada hari kiamat
1.       Yaumil Nafkhi adalah hari dimana mendengar bunyi yang amat dahsyat, selaku pemberitahuan hari kiamat  telah tiba, sehingga dengan mendengar bunyi itu matilah semua makhluk yang ada dilangit dan yang ada dibumi tanpa terkecuali.
2.       Yaumul Hasyri adalah hari dimana manusia digiring sekalian mereka sesudah berbangkit dari kubur mereka dalam suatu ketinggian untuk mendapatkan keputusan diantara mereka.
3.       Yaumul Hisab adalah hari dimana tiap-tiap manusia dihitung atas sekalian amalan mereka terhadap apa-apa yang telah dikerjakan.
4.       Yaumul Mizan adalah hari pertimbangan segala amal hamba, adapun yang beriman maka beratlah kebaikannya, dan ringan keburukannya. Adapun orang-orang kafir, maka ringan kebaikannya dan berat keburukannya. Adapun orang-orang yang diberatkan timbangannya maka dia berada dalam  I’syatir radhiyah (kehidupan yang menyenangkan). Orang-0rang yang ringan timbangnya, maka tempatnya adalah ummu hawiyah (api yang sangat panas)
5.       Yaumul Kitab adalah hari pemberitahuan buku catatan amal.
6.       Yaumal Shirat adalah hari meniti, menyeberangi jembatan yang panjang diatas tepi neraka.
7.       Yaumul Jazaa’( yaumiddiin), adalah hari pembalasan
8.       Haudh adalah telaga nabi kita Muhammad , yang panjangnya perjalanan sebulan, airnya lebih putih dari pada susu, dan baunya terlebih wangi dari pada kesturi, gayungnya seperti bintang dilangit. Orang yang meminum air dari padanya maka tidak akan merasa haus   selamanya.
9.       Syurga adalah rumah bagi orang yang mendapat pahala yang telah dijadikan oleh Allah  bagi orang yang ahli tauhid dan taat, dan mereka mempunyai derajat  disisi Allah dengan pertimbangan iman dan amal. Selanjutnya Allah memberikan nama( gelaran) untuk syurga sesuai dengan sifatnya, diantaranya yaitu:
a.       Jannatul Ma’wa(  جنة المأوى )= syurga tempat kembali, karena memang syurga itu tempat kembali dan pulangnya seluruh hamba-hamba Allah yang beriman dan beramal shaleh serta bertaqwa kepada Allah.( Q.S An-najmu ayat: 15)
b.      Jannatul A’dn (جنة عدن )= syurga tempat tinggal yang kekal, memang syurga itu kekal selama-lamanya. Lihat surat al-faatir ayat: 33
c.       Daarul Khuluud (دار الخلود )= perumahan yang kekal. Lihat Q.S Al-Qaf ayat: 34
d.      Al- Firdaus ( الفردوس )= taman kesenangan. ( Q.S Al-Mukminun ayat: 11)
e.      Darussalam ( دارالسلام)= perumahan kesejahteraan, memang penghuni syurga tidak pernah merasakan susah, sedih, dan sakit, hanya saja mereka merasakan damai dan sejahtera. Lihat Q.S Yunus ayat: 25
f.        Darul Muqaamah ( دار المقامة )= perumahan ketenangan, memang penghuni syurga itu suasananya tenang, penuh kedamaian, tidak ada yang namanya usaha keras dan banting tulang untuk mendapatkan yang diinginkan. ( Q.S Faatir ayat: 35 )
10.   Neraka adalah rumah bagi orang yang berdosa yang telah dijadikan oleh Allah bagi orang kafir, dan maksiat. Adapun orang-orang kafir yang masuk neraka, maka tidak akan pernah keluar dari padanya selama-lamanya dan tidak pernah diringankan untuk mereka segala azab, tidak pula mereka mendapatkan pertolongan. Adapun orang-orang maksiat yang dimasukkan didalam neraka mustilah mereka dikeluarkan dari padanya, dan tiada kekal didalamnya karena didalam hati mereka ada sedikit dari pada iman.

F.       IMAN KEPADA QADAR BAIK DAN BURUK
                Makna iman kepada qadar adalah keyakinan yang jazam dengan bahwasanya barangmana ada dari pada gerak dan diam, baik dan buruk, mamfaat dan mudharat, merupakan suatu keputusan dan ketetapan dari pada Allah. Bersabda rasulullah saw: “ tidaklah beriman oleh salah seorang hamba, sehingga beriman dengan 4 perkara: sehingga dia bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang disembah melainkan Allah, dan bahwasanya aku (Muhammad) adalah utusan Allah yang telah mengutusku dengan kebenaran, dan beriman dengan hari berbangkit  sesudah mati, dan beriman dengan ketetapan baik dan buruknya, manis dan pahitnya dari pada Allah.

Selasa, 13 Oktober 2015

jangan menganggap remeh dosa kecil

tak akan mengajak manusia
dari perkara yang paling besar
yaitu mempersekutukan Allah.
Kalau tidak bisa dengan perkara
yang lebih kecil lagi seperti dosa-
dosa besar, dan begitu
seterusnya sehingga hal sekecil
apapun tidak pernah dilewatkan
oleh setan. Oleh karena itu Allah
memerintahkan kita agar
menjadikan setan sebagai
musuh, sebagaimana firman-Nya:
ﺇﻥ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻟﻜﻢ ﻋﺪﻭ ﻓﺎﺗﺨﺬﻭﻩ ﻋﺪﻭﺍ
ﺇﻧﻤﺎ ﻳﺪﻋﻮﺍ ﺣﺰﺑﻪ ﻟﻴﻜﻮﻧﻮﺍ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺏ
ﺍﻟﺴﻌﻴﺮ
Sesungguhnya syaitan itu adalah
musuh yang nyata bagimu, maka
anggaplah ia musuh(mu), karena
sesungguhnya syaitan-syaitan itu
hanya mengajak golongannya
supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-
nyala. (QS. 35:6)
Kita mungkin bisa menghindari
dari dosa besar seperti zina,
mencuri, dan dosa-dosa besar
lainnya, tapi tidak bisa
menghindari dosa kecil hanya
karena alasan dosanya kecil.
Padahal kalau kita melihat dalil-
dalil syar’i, beberapa dosa
tersebut dapat menjadi besar.
Dan memang inilah cara-cara
setan dalam memperdaya umat
ini. Oleh karena itu begitu
lihainya syetan menggunakan
kesempatan. Allah
memerintahkan kepada kita agar
menjauhkan diri dari segala yang
dilarang, yang besar maupun
yang kecil. Allah berfirman yang
artinya:
Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah;. (QS.
59:7)
Bagaiman dosa-dosa kecil
menjadi besar?
1. Dilakukan terus-menerus
Misalnya seorang laki-laki
memandang wanita dan ini
adalah zina mata, namun zina
mata lebih kecil dari zina
kemaluan. Tapi dengan
melakukannya terus-menerus
maka dia akan menjadi besar .
Sebab tidak ada dosa kecil kalau
dilakukan terus-menerus,
sebagaimana dikatakan seorang
salaf:’ Tidak ada yang namanya
dosa kecil kalau dilakukan terus-
menerus dan tidak ada dosa
besar apabila diiringi dengan
taubat”.
2. Karena diremehkan
Sesungguhnya perbuatan dosa
itu apabila dianggap berat oleh
seorang hamba akan menjadi
kecil di sisi Allah . Karena
anggapan sebuah dosa sebagai
dosa yang besar berpangkal dari
hati yang benci kepadanya dan
berupaya menghindarinya.
3. Apabila seorang hamba
merasa senang melakukannya.
Perasaan bangga gembira dan
senang terhadap dosa,
menjadikan dosa tersebut
menjadi besar. Ketika rasa
senang kepada dosa kecil sudah
mendominasi diri seseorang,
maka menjadi besarlah dosa
kecil tersebut, dan besar pula
pengaruhnya untuk
menghitamkan hatinya. Sampai-
sampai ada yang merasa bangga
karena bisa melakukan sebuah
dosa, padahal kegembiran pada
sebuah dosa lebih besar dari
dosa itu sendiri. Allah SWT
berfirman:
ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺤﺒﻮﻥ ﺃﻥ ﺗﺸﻴﻊ ﺍﻟﻔﺎﺣﺸﺔ ﻓﻲ
ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺀﺍﻣﻨﻮﺍ ﻟﻬﻢ ﻋﺬﺍﺏ ﺃﻟﻴﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ
ﻭﺍﻷﺧﺮﺓ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻳﻌﻠﻢ ﻭﺃﻧﺘﻢ ﻻﺗﻌﻠﻤﻮﻥ
Sesungguhnya orang-orang yang
ingin agar (berita) perbuatan
yang amat keji itu tersiar di
kalangan orang-orang yang
beriman, bagi mereka azab yang
pedih di dunia dan di akhirat.Dan
Allah mengetahui, sedang kamu
tidak mengetahui. (QS. 24:19)
Misalnya seperi orang yang
berkata: Tidakkah kamu tahu
bagaiman aku membuntuti fulan
dan berhasil melihatnya” atau
ucapan-ucapan dan perbuatan
lainnya yang menunjukkan sikap
bangga dan senang atas
perbuatan dosa. Maka semua itu
menjadikan dosa yang semula
kecil menjadi besar.
4. Apabila menyepelekan tabir
Allah  yang menutupi
kesalahannya, kasih sayang-
Nya dan keramahan-Nya
Sikap santainya dalam melakukan
dosa, tidak adanya rasa takut
kepada Allah  dan pengawasan-
Nya. Perasaan aman dari siksa
Allah adalah gamnbaran dari
menyepelekan tabir Allah. Dia
tidak sadar bahwa perbuatannya
itu mendatangkan murka Allah.
Ibnu Abbas t berkata: Wahai
orang yang berdosa, jangan
merasa aman dari akibat
buruknya. Tatkala suatu dosa
diikuti oleh sesuatu yang lebih
besar dari dosa, jika kamu
melakukan dosa, tanpa merasa
malu terhadap pengawas yang
ada di kanan kirimu, maka kamu
berdosa, dan menyepelekan dosa
itu lebih besar dari dosa itu
sendiri,…, kegembiraanmu
dengan dosa ketika kamu sudah
melakukannya, itu lebih besar
dari dosa itu sendiri,
kesedihanmu atas suatu dosa
ketika ia lepas darimu (tidak
dapat melaksanakannya, maka
itu lebih besar dari dosa itu
sendiri. Kekhawatiranmu
terhadap angin ketika ia
menggerakkan daun pintumu
pada saat kamu sedang
melakukan dosa serta hatimu
tidak pernah risau dengan
pengawasan Allah kepadamu,
maka itu lebih besar dari dosa itu
sendiri ”.
Mujaharah
Yakni apabila seseorang
melakukan dosa dengan terang-
terangan di depan umum atau
dengan menceritakannya kepada
orang lain padahal jika ia tidak
menceritakannya orang lain tidak
ada yang tahu, kecuali dia
dengan Rabbnya. Dengan sikap
ini berarti ia telah mengundang
hasrat orang lain untuk
melakukan dosa tersebut dan
secara tidak langsung ia telah
mengajak orang lain untuk ikut
melakukannya. Dalam hal ini ia
telah melakukan dua hal
sekaligus yaitu dosa itu sendiri
ditambah mujaharahnya,
sehingga dosanya pun menjadi
besar. Rasulullah e bersabda:
ﻛﻞ ﺃﻣﺘﻲ ﻣﻌﺎﻓﻰ ﺇﻻ ﺍﻟﻤﺠﺎﻫﺮﻳﻦ ﻭﺇﻥ
ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺠﺎﻫﺮﺓ ﺃﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺑﺎﻟﻠﻴﻞ
ﻋﻤﻼ ﺛﻢ ﻳﺼﺒﺢ ﻭﻗﺪ ﺳﺘﺮﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﻳﺎ
ﻓﻼﻥ ﻋﻤﻠﺖ ﺍﻟﺒﺎﺭﺣﺔ ﻛﺬﺍ ﻭﻛﺬﺍ ﻭﻗﺪ ﺑﺎﺕ
ﻳﺴﺘﺮﻩ ﺭﺑﻪ ﻭﻳﺼﺒﺢ ﻳﻜﺸﻒ ﺳﺘﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ
“Setiap umatku dapat diampuni
dosa-dosanya kecuali orang yang
mengekspos dosa-nya. Contoh
dari mengekspos dosa adalah
seorang yang melakukan dosa
dimalam hari, kemudian pada
pagi harinya, padahal Allah I telah
menutupi dosanya, ia
mengatakan:Wahai fulan, tadi
malam saya telah melakukan
demikian dan demikian. Di
malam hari Allah  telah menutupi
perbuatan dosanya, namun di
pagi harinya justru ia sendiri
yang menyiarkannya ”. (HR:
Bukhari 5721, Baihaqi 17373,
Dailami 4795)
6. Jika dilakukan oleh orang
yang menjadi panutan
Seorang yang diangap panutan,
baik ia seorang ulama atau
seorang direktur perusahaan,
kepala sekolah atau siapa saja
yang mempunyai pengaruh,
sehingga apabila ia melakukan
suatu dosa orang-orang akan
mengikutinya, maka dosa yang
dilakukannya itu menjadi besar.
Sebab dosa-dosa orang yang
mengikutinya akan menjadi
tanggungannya. Rasulullah e
bersabda:
ﻭﻣﻦ ﺳﻦ ﻓﻲ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺳﻨﺔ ﺳﻴﺌﺔ ﻓﻌﻤﻞ
ﺑﻬﺎ ﺑﻌﺪﻩ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻪ ﻣﺜﻞ ﻭﺯﺭ ﻣﻦ ﻋﻤﻞ
ﺑﻬﺎ ﻭﻻ ﻳﻨﻘﺺ ﻣﻦ ﺃﻭﺯﺍﺭﻫﻢ ﺷﻲﺀ
‘Barangsiapa yang membuat
dalam Islam tradisi yang buruk,
maka dibebankan kepadanya
dosa yang buruk itu dan dosa
orang yang mengerjakannya
sesudahnya tanpa mengurangi
dosa-dosa mereka sedikitpun.
(HR: Muslim 1017, Ahmad
19179-19197)
Rasulullah e ketika menulis surat
kepada Najasyi ( Asyhamah bin
Al-Aabjar) Raja Habasyah
(Ethiopia), Juraij bin Mata yang
bergelas Muqauqis raja Mesir,
Kisra raja Persia, Heraqlius raja
Romawi dalam rangka mengajak
mereka ke dalam Islam. Di antara
isi surat tersebut disebutkan
bahwa jika mereka menolak,
maka mereka akan menanggung
dosa semua kaumnya. Hal ini
tiada lain karena mereka adalah
panutan bagi kaum mereka. Jika
mereka masuk Islam maka
dengan sendirinya mereka juga
akan masuk Islam, walaupun
tidak semuanya.
Ini adalah sebagian yang
menyebabkan dosa kecil menjadi
besar, kalau ada di antara kita
yang pernah salah karena
pernah melakukan hal yang
tersebut, hendaklah kita
bertaubat kepada Allah,
janganlah kita menunda-nunda
karena tidak ada yang bisa
menjamin kalau kita masih akan
hidup sampai esok hari, sebab
berapa banyak tanaman yang
rusak sebelum keluar tunasnya.
Semoga Allah memberikan
kepada kita taufik-Nya.
Maraji’:
1. Saatnya bertaubat, Muhammad
bin Husain Yakqub, Darul haq.
2.Bahaya Dosa dan
perngaruhnya, Muhammad bin
Ahmad Rasyid Ahman, At-Tibyan.
3. Minhajul Qashidin, Ibnu
Quddamah, Al-Kautsar.
4. Raudhatul Anwar FiSirati An-
Nabi Al-Mukhtar.
Next >
Rate

kumpulan kata kata nasehat atau kata kata bijak

Setiap manusia memiliki
kelebihan dan kekurangan. Jadi
jangan minder dengan
kekurangan kita. dan jangan iri
dengan kelebihan orang.
HARGAILAH DIRIMU APA
ADANYA!!!
=========================
Berbicara cinta sejati, ketahuilah
sesungguhnya segala ni ’mat ini
adalah dari Allah SWT, termasuk
ni ’mat mencintai lawan jenis,
untuk itu gunakanlah bingkai
yang dibenarkan oleh syariat,
dan bingkai itu adalah
pernikahan. Itulah sunnah yang
sesungguhnya,
===============================
IKUTILAH JALAN KEBENARAN ITU
JANGAN HIRAUKAN WALAUPUN
SEDIKIT ORANG MENGIKUTINYA!
JAUHKANLAH DIRIMU DARI JALAN
JALAN KESESATAN DAN
JANGANLAH TERPESONA DENGAN
BANYAKNYA ORANG ORANG YANG
MENEMPUH JALAN KEBINASAAN!
Sunnah itu bagaikan bahtera
nabi nuh.Barangsiapa
mengendarainya niscaya dia
selamat dan barangsiapa
terlambat dari bahtera tersebut
maka dia akan tenggelam ……
=============================
““Muslim sejati adalah yang tidak
pernah menggunakan lisan dan
tangannya untuk menyakiti
sesama muslim. ” (HR. Bukhori
dan Muslim dari Abdullah bin
Amr bin Ash, Riyadhus Sholihin
No. 222 )”
=============================
“Ingatlah bahwa salah satu sifat
muslim sejati adalah bersabar
ketika ditimpa musibah dan
bersyukur ketika mendapat
nikmat. Subhanallah.. …”

QAWA’ID AL-USHULIYYAH DAN AL-FIQHIYYAH

A. Qawa’idul Ushuliyah dan Fiqhiyah.

 Kata qawa’idul Ushuliyah dan fiqhiyah terdiri dari kata qawa’id, ushuliyah dan fiqhiyah. Qawa’id merupakan jamak dari qa’idah yang menurut bahasa bermakna dasar atau asas . Sedangkan pengertian qawa’id secara epistemologi dapat kita lihat dari berbagai pernyataan para ulama :

1. Al-Mahalli : 

قضية كلية يتعرف منها احكام جزئياتها Artinya : “Ketentuan pernyataan universal yang memberikan pengetahuan tentang berbagai hukum dan bagian-bagiannya.”

2. As-Subki : 

الامر الكلي الذي ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها Artinya : “ketentuan universal yang bisa bersesuaian dengan bagian-bagiannya serta bisa dipahami hukumnya dari perkara tersebut.” 

3. Musthafa Ahmad bin Zarqa : 

اصول فقهية كلية في نصوص موجزة دستورية تضمن احكاما تشر يعية عامة في الحوادث التي تدخل تحت موضوعها Artinya : “Dasar-dasar yang bertalian dengan hukum syara’ yang bersifat mencakup (sebagian besar bagian-bagiannya) dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas (singkat dan padat) yang mengandung penetapan hukum-hukum yang umum pada peristiwa yang dapat dimaksudkan pada permasalahannya.” 

4. Musthafa Az-Zarqa yang disadur oleh Dr. Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy : 

حكم اغلبي ينطبق على معظم جزئياته Artinya : “Hukum yang bersifat aghlabi (berlaku sebagian besar) yang meliputi sebagian besar lainnya.”

 B. Kaidah Ushuliyah.

 Kata ushul berasal dari kata اصل yang artinya : ما بني عليه غيره “Sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lain” Selian itu juga ushul diartikan sebagai sumber atau dasar. Asal adalah sesuata yang menjadi dasar (sendi) oleh sesuatu yang lain, sedangkan furu’ adalah sesuatu yang diletakkan di atas asal tadi. Seperti sebuah rumah yang terletak di atas sendi atau fondasi, maka sendi dinamakan asal, dan rumah yang terletak di atasnya dinamakan furu’. Asal menurut istilah dipakai dalam lima pengertian :

1. Kaidah Kulliyah (peratutan umum).

2. Rajih (terkuat).

3. Mustashhab.

4. Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan).

5. Dalil (alasan).

Rinciannya adalah sebagai berikut :

1. Ashal berarti Kaidah Kulliyah (peratutan umum). Peraturan umum dalam hal ini adalah melaksanakan ketentuan oleh syara’ kecuali dalam keadaan terpaksa, seperti memakan mayat, darah, dan dnging babi dalam keadaan terpaksa. Sedangkan hukum asal dari pada memakan mayat, darah, dan daging babi itu adalah haram. Allah berfirman : 

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3} Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi… ” (Al-Maidah 3).

2. Ashal berarti Rajih (terkuat). Maksud rajih adalah asal dari pada perkataan ialah hakikatnya, yakni yang kuat atau yang rajih dalam menetapkat, pengertian sesuatu perkataan ialah makna hakikatnya, bukan makna majaznya. Seperti pada hadist nabi yang berbunyi :

 لا تبيع الصاع بالصاعين “Janganlah menjual satu takar dengan dua takar”. Lafadh الصاع yang arti hakikinya adalah suatu wadah untuk menakar, dalam hadist ini diartikan secara majazi yaitu barang-barang yang diperjualbelikan dengan ditakar.

3. Ashal berarti Mustashhab. Mustashhab adalah :

 الاصل بقاء ماكان على ماكان ” Tetap apa yang telah ada atas apa yang telah ada”. Maksud dari kaidah di atas adalah menetapkan hukum sesuatu atas hukum yang telah ada. Seperti yakin berwudhu, ragu dalam berhadas, tetap seorang itu dalam keadaan suci. 

4. Ashal berarti Maqis ‘alaih (tempat mengkiaskan). Seperti keharaman mengambil riba pada padi didasarkan pada adanya keharaman mengambil riba pada gandum. Hukum asal dari pengharaman mengambil riba pada padi diqiyaskan kepada dalil yang melarang pengharaman riba pada gandum, berdasarkan ‘illat bahwa gandum dan padi merupakan makanan pokok bagi manusia. Gandum adalah ashal dan padi adalah furu’. 

5. Ashal berarti dalil (alasan). Maksudnya ashal hukum sesuatu karena dalilnya. Allah berfirman :

 وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ … {البقرة : 43} “Dirikanlah shalat, keluarkanlah zakat…” (Al-Baqarah: 43). Dalil di atas menunjukkan perintah tentang menunaikan sholat dan zakat, sedangkan tentang pengertian bahwa shalat dan zakat itu diwajibkan diambil dari kaidah ushuliyah yaitu :

 الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل غيره إلا بقر ينة “Ashal dari pada amar (perintah) itu adalah wajib dan tidak menunjukkan arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah adalah peraturan-peraturan yang menjadi standar atau dasar untuk menetapkan suatu hukum yang di tinjau dari sudut kebahasaan. 

C. Kaidah Fiqhiyah.

 Kata fiqhiyah diambil dari kata “figh” yang diberi tambahan ya’ nisbah yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Secara etimologi makna fiqh lebih dekat dengan makna “ilmu” sebagaimana firman Allah SWT : 

… لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ … {التوبة : 122} “…Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama…” (QS. At-Taubah : 122) Sedangkan dalam arti isitilah, fiqh berarti : 

1. Menurut Al-Jurjani al-Hanafi : “Ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang amaliyah yang diambil dari dalil-dalilnya yang tafshili dan diistinbathkan lewat ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan”. 

2. Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah Al-Mubtada’ wal Khabar : “ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah yang berhubungan dengan segala perbuatan mukallaf (diistinbathkan,) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dan dari dalil-dalil yang ditegaskan berdasarkan syara’, bila dikeluarkan dengan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari dalil-dalil maka terjadilah apa yang dinamakan fiqh”. Dari definisi-definisi di atas, baik mengenai gawaid maupun fighiyah maka yang dimaksud dengan “qawaidul fiyhiyah” Menurut Prof. Dr. T.M. Hasbi As-Shiddieqy adalah : “Dikehendaki dengan qaidah fiqh ialah kaidah-kaidah hukum yang bersifat kulliyah yang dipetik dari dalil-dalil kulli dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf dibawah beban taklif dan dari memahamkan rahasia–rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya”. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa qawaidul fiqhiyah adalah kaidah-kaidah atau pokok-pokok fiqh yang bersifat kulli dalam bentuk teks-teks perundang-undangan yang ringkas yang mencakup hukum-hukum yang disyariatkan secara umum yang dipetik dari dalil-dalil kulli (yaitu ayat dan hadits yang menjadi pokok kaidah yang dapat disesuaikan dengan herbagai juziyah) dan dari maksud maksud syara’ menetapkan hukum pada mukallaf serta dari memahamkan rahasia tasyri’ dan hikmah-hikmahnya. 

D. Perbedaan Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah.

 1. Kaidah Ushuliyah. Kaidah-kaidah ushuliyah disebut juga kaidah istinbathiyah atau kaidah lughawiyah. Disebut kaidah istimbathiyah karena kaidah-kaidah tersebut dipergunakan dalam rangka mengistinbathkan hukum-hukum syara’ dari dalil¬dalilnya yang terinci. Disebut kaidah lughawiyah karena kaidah ini merupakan kaidah yang dipakai ulama berdasarkan makna, susunan, gaya bahasa, dan tujuan ungkapan-ungkapan yang telah ditetapkan oleh para ahli bahasa arab, setelah diadak an penelitian-penelitian yang bersumber dan kesusastraan arab. Kaidah-kaidah ushuliyah digunakan untuk memahami nash-nash syari’ah dan hukum-hukum yang terkandung dalam nash-nash tersebut. Dengan kaidah ushuliyah dapat difahami hukum-hukum yang telah diistinbathkan oleh para imam mujtahidin, serta dapat pula dipertimbangkan antara mazhab mereka yang berbeda mengenai hukum suatu kejadian. Karena memahami hukum menurut seginya atau mempertimbangkan antara dua hukum yang berbeda tidak bisa terjadi kecuali dengan memakai ilmu ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya. 

2. Kaidah Fiqhiyah Kaidah fiqhiyah adalah kiadah hukum yang bersifat kulliyah (bersifat umum) yang dipetik dan dalil-dalil kulli, dan dari maksud-maksud syara’ dalam meletakkan mukallaf di bawah beban dan dari memahamkan rahasia-rahasia tasri’ dan hikmah-hikmahnya. Rahasia tasyri’ adalah ilmu yang menerangkan bahwa syara’ memperhatikan pelaksanaan hukum bagi mukallaf, kemaslahatan hamba, dan menerangkan bahwa tujuan menetapkan aturan-aturan ialah untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kaidah-kaidah fiqhiyah dijadikan rujukan (tempat kembali) seorang hakim dalam keputusannya, rujukan seorang mufti dalam fatwanya, dan rujukan seorang mukallaf untuk mengetahui hukum syaria’t dalam ucapan dan perbuatanya. Karena aturan-aturan syara’ itu tidak dimaksudkan kecuali untuk menerapkan materi hukumnya terhadap perbua tan dan ucapan manusia. Selain itu juga kaidah fiqhiyah digunakan untuk membatasi setiap mukallaf terhadap hal-hal yang diwajibkan ataupun yang diharamkan baginya. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia¬rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukun Islam terhadap mukallaf. Sebagai contoh :

 حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ …{المائدة : 3} Artinya : “Diharamkan bagimu memakan mayat, darah, daging babi… ” (Al-Maidah 3). Kata hurrimat pada ayat di atas menunjukkan tentang keharaman memakan bangkai, darah, daging babi. Dalam kaidah ushuliyah disebutkan bahwa : 

الاصل فى النهي للتحر يم “asal pada larangan adalah haram”. Mengenai hal ini kaidah fiqhiyah menjelaskan : الحر يم له حكم ما هو حر يم له “Yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilinginya “. Kaitan kaidah fiqh di atas dengan kaidah sebelumnya adalah sebagaimana diharamkan memakan bangkai, darah, daging babi, maka diharamkan pula untuk memperjulbelikannya, atau memanfaatkannya. Apabila bangkai, darah, dan daging babi tersebut diperjualbelikan, maka harga dari jual beli tersebut haram hukumnya. Begitu juga apabila gemuk bangkai dijadikan minyak lalu minyak itu dijual kepada orang lain, maka jual beli tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini didasarkan pada kaidah fiqih di atas bahwa pada hakikatnya yang dikelilingi adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi, sedangkan yang mengelilinginya adalah menjual dan memanfaatkannya, hal ini diharamkan karena hukum asalnya adalah haram. 

E. 5 (Lima) Contoh dan Uraiannya.

 1. Kaidah Ushuliyah : 

 a. Kaidah-kaidah Amar dan Nahi. 1) Amr : Amr adalah satu lafaz yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya untuk menuntut kepada orang yang lebih rendah derajatnya agar melakukan sesuatu perbuatan. Salah satu contoh adalah kaidah yang berkaitan dengan amar : 

الاصل فى الامر للوجوب ولا تدل على غيره إلا بقر ينة “Pada ashalnya amar itu menunjukkan arti wajib dan tidak menunjukkan kepada arti selain wajib kecuali terdapat qarinahnya “. Contohnya firman Allah QS. Al-Baqarah : 

43 ; وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَءَاتُوا الزَّكَاةَ…{البقرة : 43} “Kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat…” Lafadz اقيموا dan آتوا dalam ayat tersebut, berbentuk fi’il amar atau suatu kata kerja yang berupa perintah yang datang dengan shighat perintah secara muthlak, dan telah menunjukkan atas kewajiban mengerjalcannya. Apabila syar’i telah memerintahkan pekerjaan dan terdapat petunjuk atau qarinah yang menunjukkan bahwa perintah itu menjadi wajib, maka hal itu adalah wajib, baik dan shighat itu sendiri atau hal yang bersifat dari luar. 2) Nahi : Nahi artinya larangan, cegahan menurut istilah agama adalah tuntutan untuk meningglakan dari atasan kepada bawahan. Dalam masalah ini terdapat beberapa peraturan yang berhubungan dengan larangan. Contohnya :

 الاصل فى النهي للتحر يم “asal dari pada larangan yaitu haram “. Berdasarkan kepada pemikiran, bahwa tiap-tiap masalah yang sunyi dari pada qarinah yang menunjukkan kepada larangan rnengandung arti yang hakiki yaitu haram. Sebagaimana Allah berfirman : 

وَ لاَ تَقْرَ بُوْا الزِّ نَى … “Dan jangnlah kamu dekati zina”. Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat yang sunyi dari qarinah, dan menunjukkan kepada hakikat larangan yang mutlak. 

 b. Kaidah-kaidah ‘Am dan Khas. 1) ‘Am : ‘Am adalah lafaz yang dipergunakan untuk menunjukkan suatu makna yang pantas, boleh dimasukkan pada makna itu dengan mengucapkan sekali ucapan saja. 43 seperti kata “Ar-Rijal”,maka lafaz ini meliputi semua yang laki-laki. ‘Am itu menunjukkan atas tercakupnya semua satuan dan seluruh satuan-satuannya. 2) Khos : Khos adalah lafal yang diciptakan untuk memberikan pengertian pada satuan-sartuan yang tertentu. Berbicara mengenai khos maka tidak akan lepas dari Takhsis dan Mukhassis. Takhsis adalah mengeluarkan sebagian lafaz yang berada dalam lingkungan untum menurut hinggaan yang tidak ditentukan. Sedangkan Mukhassis ialah suatu dalil atau alasan yang menjadi alasan adanya pengeluaran tersebut. Contohnya adalah, terdapatnya istisna’ dalam QS. Al-Ashr : 1-3 ; 

وَالْعَصْرِ{1}إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ{2}إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ{3}

 Artinya : “Demi masa.(1)Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian,(2)kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.(3)”. 

 c. Kaidah-kaidah Muthlaq dan Muqayyad. 1) Muthlaq : Muthlaq adalah lafal yang menunjukkan satuan yang tidak dibatasi oleh satuan batasan yang mengurangi keseluruhan jangkauannya. Lafal muthlak digunakan sesuai dengan kemuthlakannya, seperti Wa Ummahatu Nisaikum (dan ibu-ibu dari istri-istrimu), yaitu ibu mertua tidak boleh dicampuri baik istrinya belum dicampuri ataupun sudah. 2) Muqayyad : Muqayyad adalah lafal yang dapat mempersempit keluasan arti, atau lafal muthlak yang telah ditentukan batasannya maka ia menjadi muqayyad. Seperti ketentuan wasiat dalam surat An-Nisa’ ayat 11 masih bersifat muthlaq tanpa adanya batasan berapa jumlah yang akan dikeluarkan, kemudian ayat tersebut dibatasi ketentuannya dengan hadist nabi yang menyatakan bahwa wasiat itu sepertiga dari harta yang ada. Lafal muqayyad jika dihadapkan dalil lain yang menghapus kemuqayyadannya maka ia menjadi mutlak, seperti keharaman menikahi anak tiri karena anak tiri itu dalam pemeliharaan dan ibunya sudah dicampuri. Keharaman nikah dengan anak tiri sudah dibatasi dengan dua hal di atas, namun apabila ayah tiri belum mencampuri ibunya, maka anak tiri boleh dinikahi. Dengan demikian batasan diatas menjadi muthlak kembali (An-Nisa’ : 23). 

 d. Kaidah-kaidah Mujmal dan Mubayyin. 1) Mujmal : Mujmal adalah lafal yang mengandung sejumlah keadaan atau hukum yang tercakup di dalamnya dan tidak dapat diketahui penjelasannya tanpa adanya penjelasan lebih lanjut, Atau suatu lafal yang di dalamnya terdapat dua visi. Seperti lafal A1-Qari’ah pada surat Al-Qari’ah menurut bahasa berarti pengetuk, tetapi oleh syari’ lafaz tersebut diartikan dengan arti khusus yaitu hari kiamat, sebagaimana ditafsirkan oleh syari’ sendiri pada rangkaian kalimat berikutnya. 2) Mubayyin : Mubayyin adalah lafaz-lafaz yang menerangkan atau menjelaskan lafal yang Mujmal, dan penjelasan itu dapat dibagi kepada :  Penjelasan berupa perkataan. Misalnya denda haji tamattu yakni puasa 10 hari, 3 hari di tanah suci dan selebihnya di rumah (Al-Baqarah : 196)  Penjelasan berupa perbuatan. Seperti Kaifiyah sholat dan haji, meniru kaifiyah sholat dan haji Rasulullah.  Penjelasan dengan tulisan. Misalnya surat Abu bakar yang dikirim kepada Anas, panitia zakat didaerah bashrah yang berisikan penjelasan Rasulullah tentang macam¬-macam dan nisab binatang ternak yang wajib dizakatkan.  Penjelasan dengan isyarat. Seperti tindakan Rasulullah memegang kain sutra di tangan kanannya dan memegang emas di tangan kirinya. Lalu bersabda “sesungguhnya dua macam ini adalah haram bagi orang laki-laki dari ummatku.” Kata dua macam ini adalah mujmal atau belum jelas apa yang dimaksudkan dari kata itu, dan yang menjadi bayan dalam hal ini adalah keadaan Rasulullah yang sedang memegang kain sutra dan emas, sehingga maksud dari perkataan itu adalah kain sutra dan emas.  Penjelasan dengan meninggalkan perbuatan setelah beberapa kali dikerjakan. Misalnya Rasulullah pernah menjalankan berqunut selama satu bulan lamanya untuk mendo’akan suatu qabilah arab yang masih hidup, dan akhirnya beliau tidak menjalankan lagi, sebagaimana telah diriwayatkan oleh Imam Muslim.  Penjelasan dengan diam sesudah adanya pertanyaan. Misalnya ketika Rasulullah menerangkan tentang kewajiban haji dimuka umum, lalu ada salah seorang sahabat bertanya kepada beliau, apakah kewajiban haji itu tiap-tiap tahun. Beliau diam tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Diamnya Rasulullah itu menjadi bayan bahwa kewajiban haji itu tidak untuk setiap tahun.  Penjelasan dengan macam-macam takhsis sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya. 

 e. Kaidah-kaidah Muradif dan Musytarak. 1) Muradif : Muradif adalah lafal yang hanya mempunyai satu makna, seperti Al-¬Asad yang berarti singa dan Al-Hinthatu yang berarti biji gandum. 2) Musytarak : 

أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَسْجُدُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي الْأَرْضِ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ وَالنُّجُومُ وَالْجِبَالُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ وَكَثِيرٌ حَقَّ عَلَيْهِ الْعَذَابُ وَمَنْ يُهِنِ اللَّهُ فَمَا لَهُ مِنْ مُكْرِمٍ إِنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ{18} 

Artinya : ” Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? Dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. Dan barangsiapa yang dihinakan Allah maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.” (Al-hajj : 18)”. Makna sujud mempunyai dua arti yaitu bersujud dengan mengarahkan wajah pada tanah atupun bersujud berarti kepatuhan. Kiranya kedua makna itu diperbolehkan, yakni adanya ketundukan bagi apa yang ada di langit, bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon, dan sebagainya. Dan penggunaan maksud sujud dengan menghadapkan wajah pada tanah bagi sebagian orang-orang yang taat. Dengan kata lain penggunaan lafaz musytarak itu diperbolehkan sesuai dengan proporsinya. 

2. Kaidah Fiqhiyah : Dalam hal ini yang dijadikan contoh adalah kaidah asasiah yang merupakan 5 (panca kaidah) yang digali dari sumber-sumber , baik dari Al-Qu’an dan As-Sunnah maupun dalil-dalil Istinbath, karena itu setiap kaidah didasarkan pada nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar fiqh. 

 a. Kaidah yang berkaitan dengan fungsi tujuan. Teks Kaidah : الأمور بمقاصدها “Segala urusan tergantung kepada tujuannya”. Hal ini didasarkan pada nash : Firman Allah SWT : 

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ …{البينة : 5} “Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan kepada-Nya agama yang lurus …” Sabda Nabi SAW : 

انما الأعمال بالنيات وإنما لكل امرئ مانوى “Sesungguhnya segala amal tergantung pada niat, dan sesungguhnya bagi seseorang itu hanyalah apa yang ia niati”. Tujuan utama disyari’atkan niat adalah untuk membedakan antara perbuatan-perbuatan ibadah dengan perbuatan adat dan untuk menentukan tingkat ibadah satu sama lain. Contoh :  Mandi dan wudhu yang disertakan dengan niat beribadah berbeda dengan mandi dan mencuci muka yang menurut kebiasaan untuk membersihkan badan atau muka.  Menyerahkan harta kepada fakir miskin iika tidak dibarengi dengan niat zakat, sedekah atau tebusan sumpah yang dilanggar maka itu merupakan sumbangan social. Adapun kaidah yang Berkenaan Dengan Niat adalah : 

 مالا يشترط التعرض له جعلة وتفصيلا إذا عينه واخطأ لم يضر “Sesungguhnya (amalan) yang tidak diisyaratkan untuk dijelaskan, baik secara global maupun tafshili, apabila kemudian dipastikan dan ternyata salah maka kesalahannya tidak membahayakan (tidak membatalkan).” Misalnya dalam shalat tidak diisyaratkan niat menetukan bilangan rakaat, udian musholli niat shalat maghrib dengan 4 rakaat dan pelaksanaannya tetap aat maka shalatnya tetap sah.

 b. Kaidah yang Berkenaan Dengan Keyakinan. Teks Kaidah : اليقين لا يزال بالشك “Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”. Dasar Kaidahnya adalah, sabda Nabi Muhammad saw : 

و حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحًا {روه مسلم}

 Artinya : “Apabila seorang diantara kalian menemukan sesuatu didalam perut kemudian sangsi apakah telah keluar sesuatu dari perutnya atau belum, maka janganlah keluart dari mesjid sehingga mendengar suara atau mendapatkan baunya.” Misalnya ada dua orang yang mengadakan utang piutang, dan keduanya berselisih apakah utangnya sudah dibayar atau belum, sedang pemberi utang bersumpah bahwa utang itu belum dilunasi, maka sumpah pemberi utang itu akan dimenangkannya karena yang demikian itu yang yakin menurut kaidah diatas. Dan hal itu dapat berubah jika yang utang dapat rnemberikan bukti – bukti baru atas pelunasan utangnya. 

 c. Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Menyulitkan. Teks kaidahnya : المشقة تجلب التيسير “Kesukaran itu dapat menarik kemudahan”. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw : 

الدِّينُ يُسْرٌ وَقَوْلُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى اللَّهِ الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ {روه البخارى} ” Agama itu memudahkan, agama yang disenangi Allah agama yang benar dan mudah “. Allah SWT memiliki kekuasaan yang tiada tara, dengan kekuasaan-Nya itu Dia mampu menundukkan ketaatan manusia untuk mengabdi kepada-Nya. Agar dalam realisasi penghambaan itu tidak terjadi kekeliruan maka Dia membuat aturan-aturan khusus yang disebut sebagani syari’ah demi kemaslahatan mausia itu sendiri. Syari’ah itu disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan potensi yang dimiliki seorang hamba, karena pada dasarnya syari’ ah itu bukan untuk kepentingan Tuhan melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Allah SWT. Berfirman, “Allah tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan”.

 d. Kaidah yang Berkenaan Dengan Kondisi Membahayakan. Kaidahnya : 

اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع الامر ضاق “Apabila suatu perkara itu sempit maka hukumnya menjadi luas, sebaliknya jika suatu perkara itu luas maka hukumnya menjadi sempit”. Misalnya, pada dasarnya seorang saksi adalah laki-laki yang terpercaya, namun bila tiada laki-laki sama sekali maka boleh digantikan pada wanita. Contoh lain, Misalnya seseorang di hutan tiada makanan sama sekali kecuali ada babi hutan dan bila ia tidak makan menjadi mati, maka babi hutan itu boleh dimakan sebatas keperluannya. 

 e. Kaidah yang Berkenaan Dengan Adat Kebiasaan. العادة محكمة “Adat kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum”. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad saw, “Apa yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. Contohnya : hukum syari’ah menetapkan hukum mahar dalam perkawinan namun tidak ada kejelasan berapa banyak ketentuan mahar itu, maka ketentuannya dikembalikan pada kebiasaan